BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
adalah seorang negarawan yang luar biasa. banyak kritik-kritik pedas ia
lontarkan kepada pemerintahan manakala ada keputusan pemerintah yang merugikan
rakyat banyak. sebagai seorang cendekiawan muslim, budayawan, dan politisi.
dengan modal tersebut beliau berusaha untuk menjaga titik keseimbangan negara
dan bangsa. Apalagi segenap perjuangan saat Orde Baru
telah terbayar melalui Kepresidenan ke-4 RI, di mana beliau mampu mewujudkan
eksperimentasi kenegaraannya, yang lahir dari keprihatinan atas otoritarianisme
politik Orde Baru.
Meskipun umur kepresidenanya tak lama. Tetapi
kita tetap bisa menemukan garis merah konsepsional dari segenap kebijakan
politik yang konon sering kontroversial. Dalam hal ini, studi tentang filsafat
negara Gus Dur menjadi titik muara, karena ia tidak hanya merujuk pada domain
politik, tetapi terlebih budaya. Dalam discourse negara, pemikiran Gus
Dur bisa diletakkan secara menyeluruh, sebab sejak Orde Baru hingga sekarang,
titik bidik Gus Dur adalah negara, tepatnya oposisi terhadap negara, bahkan
ketika ia “menjelma negara”. Sayangnya, ketiadaan perumusan sistemik, serta
pengangkatan Gus Dur pada level politik budaya, akan meniadakan gerak dan watak
Gus Dur yang sejak awal sudah political. Politik dalam arti
keberpihakan, politik dalam arti pengarahan praktik politik oleh sebuah
pemikiran.
Dengan politik
keterpihakan ini pemerintahaan gus dur tak ubahnya seperti masa pemerintahan
Orde Baru yang lebih mengutamakan pada percepatan ekonomi dan minus pemerataan.
ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang terlahir dari pemerintahaan Gus
Dur. banyak kebijakan-kebijakan Gus Dur yang di anggap sangat kontroversial.
sehingga menimbulkan ketidak sukaan beberapa pihak.
Pemerintahan Gus Dur
pada awal Reformasi ini menjadikan pemerintahaan Gus Dur menghadapi
tantangan yang berat. pemerintahan Gus Dur di tuntut untuk mampu mengawal
Reformasi agar berjalan sesuai dengan agenda reformasi. dan mampu membersihkan
sisa-sisa otoriterisme Orde Baru dan menciptakan pemerintahan yang
bersih. Dan terlepas dari sistem yang telah di wariskan oleh Orde Baru.
Presiden ke-4 indonesia
ini telah mewariskan banyak pemikiran-pemikiran bagi bangsa indonesia.
Dan sebagai generasi berikutnya semoga kita bisa mengambil pemikiran-pemikiran
beliau dan bisa mengambil pemikiran-pemikiran yang baik dan menyingkirkan
pemikiran yang kurang baik dari beliau.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pemikiran Gus Dur tentang Negara dari
segi Islam?
b. Bagaimanakah pemikiran Gus Dur tentang Negara dari
segi Budayawan?
c. Bagaimanakah pemikiran Gus Dur tentang Negara dari
segi Politisi?
d.
Bagaimanakah pemikiran Gus Dur tentang Negara dari segi Negarawan?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pemikiran Gus Dur tentang Negara
dari segi Islam
b. Untuk mengetahui pemikiran Gus Dur tentang Negara
dari segi Budayawan
c. Untuk mengetahui pemikiran Gus Dur tentang Negara
dari segi Politisi
d. Untuk mengetahui pemikiran Gus Dur tentang Negara
dari segi Negarawan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid (Gus
Dur)
Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab
dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan
Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan
pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah
dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Dia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999
hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau
"Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.
"Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur adalah putra pertama dari
enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim
Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul
Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren. Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan
menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri
Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana
selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke
Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta,
masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Gus Dur juga diajarkan membaca buku
non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.
Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil. Pendidikannya
berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi
bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk
meneruskan pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang
untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid
berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya
empat tahun).
Pada 1959, Gus Dur pindah ke
Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai
guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah
Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk
belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya
karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad.
Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas
Baghdad tahun 1970.
Dia pergi ke Belanda untuk
meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa
karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke
Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971. Gus Dur kembali ke
Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif
dan sosial demokrat.
LP3ES mendirikan majalah Prisma di
mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan sering berkeliling
pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah dia memprihatinkan kondisi
pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat
perubahan dan kemiskinan pesantren yang ia lihat. Dia kemudian batal belajar
luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. Abdurrahman Wahid
meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas.
Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial.
Dengan popularitas itu, ia
mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia
harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan
tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian,
Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada 1977,
dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan
Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat
Islam dan misiologi. Ia lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan
ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, Bisri Syansuri,
membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari
Jombang ke Jakarta. Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya
pada pemilihan umum legislatif 1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk NU.
- Pemikiran Gus Dur tentang
Negara dari segi Islam
Secara paradigmatik, pemikiran
politik Islam Gus Dur berangkat dari kaidah fiqh yang berbunyi: tashharruf
al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bil mashlahah (kebijakan seorang
pemimpin terkait dengan kemashlahatan rakyat). Kenapa dirujukkan pada kaidah
ini? Karena bagi muslim, praktik politik terkait dengan amanah, yang tidak
hanya mengacu pada kontrak sosial dalam demokrasi, tetapi pertanggungjawaban
manusia atas posisi khalifah, langsung dihadapan Tuhan. Kemashlahatan rakyat
menjadi pijakan dan arah utama, karena Islam menganut prinsip keadilan (al-‘adalah),
yang oleh Gus Dur ditempatkan sejajar bersama dengan demokrasi (syura)
dan persamaan (al-musawah). Tanpa adanya keadilan, sebuah kepemimpinan
politik, cacat di mata agama, dan oleh karena itu, halal untuk dilawan, apalagi
ketika ketidakadilan itu mrembet pada penyimpangan syar’i.
Dalam hal inilah, Gus Dur dan NU
tidak menambatkan tujuan politiknya kepada negara Islam. Kenapa? Karena
menjadikan Islam sebagai tujuan, akan terjebak pada cita-cita semu, yang
menyebabkan perjuangan menjadi simbolis. Ini yang dialami
para “pembela Islam”, seperti yang terjadi pada perdebatan Piagam Jakarta di
negeri kita. Bagi mereka, yang dinamakan dakwah Islam haruslah secara letterlijk
memasukkan kata-kata Islam atau syari’at kedalam konstitusi negara, seperti
yang termaktub dalam konstitusi Saudi Arabia, Iran, dan Pakistan. Dari sini
perjuangan menjadi simbolis, dimana tegaknya Islam dimaknai sebagai tersebarnya
“lautan jilbab”, dan segala aturan formal akhlak Islam. Hal ini tentu telah
melahirkan agama hipokrit, dimana pelaksanaan ibadah harus melalui pemaksaan
politik, sehingga ia murni bersifat publik tanpa adanya kesunyian
transendental.
Dari sini Gus
Dur kemudian melakukan rekonstruksi kedalam, atas bangunan intelektualisme
Islam. Ini urgen, sebab perumusan ulang pemikiran Islam merupakan ruang yang
tak tergarap dari kebangkitan Islam tersebut, yang karena tak masuk dalam
geliat intelektualisme, maka ia terjebak dalam perjuangan formalistik. Arah ini yang membedakan Gus Dur dengan para
“pembela Islam”. Bagi Gus Dur dan kalangan NU, Islam terlebih adalah soal
penguasaan metodologi keilmuan. Fakta ini searah dengan proses islamisasi awal
abad ke-19, ketika jaringan ulama jawi membawa pembaruan pemikiran Islam, dari
Mekkah, ke Nusantara. Inilah cikal bakal pesantren, yang akhirnya melahirkan
kekayaan ilmu ‘alat, sehingga bagi muslim santri, keberislaman, terutama adalah
penguasaan dan aplikasi dari manhaj al-fikr, sehingga Islam mampu menanggapi
perubahan zaman. Satu hal yang berbeda dengan kalangan fundamentalis, yang
hanya menjadi konsumen pemikiran dan produk hukum Islam, sehingga Islam kemudian menjelma
“senjata sudah jadi”, dan siap dilawankan dengan apapun.
Pada titik inilah kita akan mengenal konsep kosmopolitanisme dan
universalisme Islam milik Gus Dur. Konsepsi ini mengacu pada usaha untuk
merumuskan bagaimana pemahaman terhadap ajaran Islam harus bersifat terbuka
dengan pemikiran lain. Hanya saja keterbukaan ini bukanlah suatu adaptasi
radikal terhadap Barat, tetapi sebuah keterbukaan pemikiran yang ditujukan
untuk penggerakan perubahan struktural demi tata hidup berkeadilan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam
tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara
kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga
masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim). Kosmopolitanisme yang seperti itu
adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat
mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada
kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak
masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang
memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam
bentuk-bentuk nyata, bukannya hanya dalam postulat-postulat spekulatif belaka.
b. Pemikiran Gus Dur tentang Negara dari
segi Budayawan
Sebagai seorang
budayawan islam gusdur memiliki pandangan tersendiri tentang negara. bahkan
dalam pengambilan-pengambilan keputusan dalam pemerintahan Gus Dur selalu
mempertimbangkan Budaya. ini membuktikan bahwa Gus Dur adalah seorang budayawan
sejati.
Gus dur merupakan
lokomotif islam, ia di besarkan dalam lingkungan NU atau yang dikenal sebagai
islam tradisional. sehingga pantas jika ia tumbuh menjadi seorang budayawan
bangsa yang handal. kita tahu bahwa islam tradisional adalah islam yang mampu
eksis dan dapat memasukan budaya islam ke dalam budaya-budaya masyarakat.
Hanya yang patut
diangkat, dan menjadi concern kajian ini adalah, segenap lanskap
pemikiran Gus Dur pada tataran abstraksi ideal, mengenai hubungan terbaik
antara negara dan masyarakat. Ini yang menjadi arah gerakannya sejak era Orde
Baru, dan hingga sekarang tetap menjelma problem tak terselesaikan. Pertanyaan
yang muncul adalah, kenapa Gus Dur anti terhadap birokratisasi budaya yang
seharusnya menjadi hak milik masyarakat? Apakah memang posisi negara yang
begitu hegemonik, patut diamini sebagai keniscayaan evolusi masyarakat modern,
sehingga potensi kemandirian “memerintah” dari masyarakat sendiri terbungkam? Berhakkah negara, pada tataran real melakukan pembunuhan atas manusia demi stabilitas
politik? Berhakkah negara mengobok-obok kebebasan beragama dan berpikir,
melalui otoritarianisme otoritas pengetahuan, entah melalui korpus KUHP ataupun
lembaga MUI? Dimanakah posisi kajian hubungan negara dan masyarakat dalam studi
dan proses demokrasi, sehingga seakan hal ini menghilang dalam arus reformasi
pasca Leviathanisme negara?
Hal
sama juga terjadi pada pertanyaan, kenapa Gus Dur menolak negara Islam? Apakah
dengan demikian Ia tidak memiliki kehendak untuk memperjuangkan terbentuknya
masyarakat berdasar nilai-nilai Islam? Tanya ini urgen sebab sikap keberislaman
Gus Dur tentu mewakili sikap NU, dan mayoritas Islam di negeri ini. Pandangan
Gus Dur mengenai hubungan antara Islam dan negara menjadi penting, sebab hingga saat ini, ada
saja pihak yang hendak mempermasalahkanya dalam suatu perjuangan ideologis. Dalam
kaitan ini, sikap Gus Dur sebagai gerbong tradisionalisme Islam tentu berbeda
dengan pihak yang sama menolak negara Islam. Bagaimanapun Gus Dur dan NU
bukanlah penganut sekularisasi. Sebagai agama hukum (religion of law),
masyarakat sarungan ini memiliki kaidah pemikiran metodologis (qawa’idul
manhajiyah) yang berangkat dari logika ushul fiqh. Ini yang menjadikan kaum
nahdliyin tidak bisa melepaskan pendekatan dan pandangan agama dalam setiap
keputusan politiknya.
- Pemikiran Gus Dur tentang
Negara dari segi Politisi
Karir politik Gus Dur
diawali setelah ia menyelesaikan studynya. Ia mengawali sebagai oposisi
Soeharto. Ini terbukti dengan tulisan-tulisan Gusdur baik dalam bentuk artikel
ataupun buku. Banyak artikel-artikel kritikan yang di tunjukan untuk
pemerintahan soeharto. Bahkan dalam bukunya banyak pemikiran Gus Dur yang di
jadikan inspirasi bagi para pembacanya. Sikap nyleneh dan anomali itu
merupakan keunikan sekaligus kelebihannya sebagai nilai tawar di hadapan
politisi lain.
Salah satu kelebihan Gus Dur yang
patut diperhitungkan adalah kemampuannya membangun intelektualisme dan
aktivisme sekaligus yang sangat jarang dilakukan oleh ulama klasik yang
melingkunginya. Ia berjuang melalui politik praksis sambil melakukan perlawanan
terhadap kebodohan politik itu sendiri dengan intelektualismenya. Disertasi ini
menemukan lima traktat pemikiran Gus Dur, yakni (1) dinamisasi dan modernisasi
pesantren (1973) yang mengusung ide pendekatan ilmiah model Marxian terhadap
situasi politik Indonesia; (2) pengenalan Islam sebagai sistem kemasyarakatan
(1978) yang berisi semangat mengembangkan Islam klasik serta bagaimana syariah
diimplimentasikan dalam menghadapi masalah-masalah mutakhir; (3) Islam dan
militerisme dalam lintasan sejarah (1980) yang berisi ide perlawanan kultural
model Marxian terhadap kekerasan (violence); (4) konsep kenegaraan dalam Islam
(1983) yang berisi ide sekularistik dan integralistik pemikiran Gus Dur tentang
hubungan antara agama dan negara; serta (5) pribumisasi Islam (1983) yang
berisi pendekatan humanisme dalam politik dan keagamaan.
Dengan
traktat-traktat itulah Gus Dur tampil sebagai tokoh nasional yang menguasai
jagat pemikiran, jagat keagamaan, dan jagat politik di Indonesia. Ia kemudian
dikenal sebagai tokoh pejuang demokrasi yang sangat pluralis, egaliter, dan
humanis. Dalam berjuang Gus Dur juga bekerja sesuai dengan adagium bellum
omnium contra omnes yang mendalilkan bahwa kekuasaan hanya dapat dilawan dengan
kekuasaan. Namun perlawanan kekuasaan Gus Dur terhadap kekuasaan dilakukan
melalui perjuangan kultural dan anti-kekerasan. Bahkan Gus Dur juga lihai
melakukan perlawanan melalui humor. Tentang ini ada tulisan Gus Dur yang
berjudul "Melawan Melalui Lelucon" (Tempo, 2000) dan saya sendiri
pernah menulis (Jawa Pos,15-3-2006) berjudul "Politik Humor Gus Dur".
Gus Dur juga dicatat sebagai pemain politik "tebar jala" yang ulung sehingga pada saat tertentu semua kekuatan politik dapat didekatinya sesuai dengan kebutuhan psikologis politik masing-masing. Maka, meski PKB hanya meraih 12 persen pada Pemilu 1999, Gus Dur dapat terpilih menjadi presiden.
Gus Dur juga dicatat sebagai pemain politik "tebar jala" yang ulung sehingga pada saat tertentu semua kekuatan politik dapat didekatinya sesuai dengan kebutuhan psikologis politik masing-masing. Maka, meski PKB hanya meraih 12 persen pada Pemilu 1999, Gus Dur dapat terpilih menjadi presiden.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden
merupakan puncak karir Gus Dur dalam bidang politik. Dan merupakan sebagai
bukti bahwa Gus Dur adalah sosok politisi yang handal dan patut di perhitungkan
dalam npercaturan politik di negri ini. Walaupun umur pemerintahan Gus Dur
tidak berlangsung lama. Ini di sebabkan oleh kebijakan-kebijakan Gus Dur yang
Kontroversial dan kebijakan tersebut menjadikan boomerang bagi dirinya dan
menjatuhkan Gus Dur dari jabatan tertinggi politik.
- Pemikiran Gus Dur tentang
Negara dari segi Negarawan
Sebagai negarawan Gus
Dur memiliki pemikiran pemikiran tentang pentingnya penyatuan wilayah. dan kesatuan
jiwa atas agama demi membangun kebangsaan atau nasionalisme serta generasi
penerus. Ini merupakan manifetasi dari keyakinan dan kepeduliannya terhadap
upaya penerapan syariah Islam, yang humanis dan universal dengan upaya-upaya
yang serius untuk memberi alternatif pemikiran terhadap penyelesaian berbagai
persoalan bangsa dan Negara tanpa harus mengorbankan siapa-siapa, tetapi
menghormati semua golongan dan pihak.
Demikian
dikatakan Munawar Ahmad SS MSi saat melaksanakan ujian terbuka program doktor,
Selasa (18/12) di Sekolah Pascasarjana UGM. Dosen Sosiologi Agama, Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga tersebut, mempertahankan desertasi berjudul
Kajian Krisis Terhadap Pemikiran Politik KH Abdurahman Wahid (Gus Dur)
1970-2000â dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Yahya Muhaimin dan
ko-promotor Prof Dr Mohtar muhamad MA serta Dr Purwo Santoso MA. Dalam maqashid
syariah, kata Munawar, perjuangan Gus Dur guna menegakkan Ad Daruriat
(keharusan-keharusan pokok) adalah suatu keniscayaan yang harus ada, demi
kelangsungan kehidupan manusia. Keniscayaan tersebut, yakni menyelamatkan
agama, jiwa, akal, harta, keturunan dan harga diri. Adapun sumber dari penyebab
hilangnya keniscayaan berasal dari kekerasan, aniaya dan kejahatan, ungkapnya.
Lebih lanjut, Munawar menjelaskan,
ide Gus Dur tentang pribumisasi Islam dan Implemetasi Islam sebagai etika sosal
tidak dimaksudkan untuk menempatkan Islam sebagai ideologi alternatif di
Indonesia, namun Islam yang dapat mengisi demokrasi dengan sejumlah prinsip
universal, seperti persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan dan spirit rule
of law. Karakter pemikiran politik demikian merupakan ciri pemikiran Kiri
Islam, yang selalu gigih dan kritis mempromosikan pemikiran alternatif berbasis
substantif Islam dengan mengedepankan persamaan, keadilan, kebebasan dan sikap
egalitarian ke tengah-tengah masyarakat.
Indikasi yang demikian, secara jelas
terekam di dalam seluruh tulisan-tulisannya. Dalam dataran praksis, Gus Dur
selalu konsisten memperjuangkan masyarakat sipil melalui penegakan demokrasi
dan liberalisme secara bersamaan sebagai wujud penghargaan atas citra
kemanusiaan (humanisma) secara mendasar, jelas pria kelahiran Bandung 17
Oktober 1969, suami dr Fetty Fathiyah, yang dinyatakan lulus sekaligus meraih
gelar doktor bidang ilmu politik dari UGM.
Meskipun Gus Dur tampak oposan
terhadap pemerintah seperti tercermin dalam beberapa kritiknya atas
kebijakan pemerintah Orde Baru, pemerintah tahu, Gus Dur adalah orang yang
sangat loyal kepada Negara Tidak pernah ia oposan dalam arti menentang ideologi
negara Kritik-kritik yang dikemukakan pun selama ini tetap dalam kerangka
demokrasi yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan tentu saja tetap
berdasarkan Pancasila.
Dari sudut ini,
orang seperti Gus Dur memang diperlukan. Ia berani menyerukan tuntutan
masyarakaat kepada negara agar koridor demokrasi di buka lebih lebar. Ia tahu
persis bagaimana kondisi masyarakat di bawah karena ia secara turun ke
daerah- daerah, tahu akar masalah, sehingga bisa dimaklumi kalau ia
menyerukan demokrasi misalnya itu semata-mata kebutuhan kelas menengah
tetapi juga suara kalangan bawah. Dalam idiom-idiom ia sering menyebut
tukang becak, petani, nelayan yang merasakan bagaimana susahnya mencari
nafkah untuk hidup sehari-hari. Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari
landasan hubungan antara Islam dan negara dalam bentuk yang lebih baik, dari
hanya sekedar kebebasan melaksanakan ajaran Islam bagi kaum muslimin, seperti
yang selama ini mengatur kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan sadar harus
dilakukan upaya untuk mencari tali pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan
kaum muslimin negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara.
Sebenarnya
upaya ke arah itu telah dilakukan oleh berbagai kalangan, namun hinggga saat
ini hasilnya masih belum menunjukkan hasil yang final. Apa yang akan dipaparkan
selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah merupakan sebuah upaya lanjutan belaka,
dan sama sekali tidak memiliki pretensi telah menemukan jawaban yang memuaskan.
Bahkan justru sebaliknya, ia akan mengundang lebih banyak masalah, yang
diharapkan akan mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari jawaban
final di kemudian hari Negarawan yang memiliki pengetahuan yang luas dan rasa
cintanya terhadap bangsa dan mampu di tuangkan dalam tulisan-tulisan ataupun
dengan secara langsung mengkritisi pemerintah. Sebagai mantan Presiden Gus Dur
memiliki segudang pengetahuan tentang kebangsaan yang luas karena Gus Dur
pernah merasakan komleksnya masalah Negara kita dengan penduduk yang
sangat pluralisme. Kebijakan-kebijakan semasa menjabat presiden ke-4 pun
lebih condong terhadap penyatuan wilayah dan perekonomian dalam rangka menyesejahterakan
rakyat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagai seorang yang agamis,
budayawan, politisi, intelek dan seorang negarawan. K.H Abdeurrahman Wahid atau
sering di sapa Gus Dur merupakan seorang tokoh pengabdi masyarakat.
pemikiran-pemikiran gus dur tentang kebangsaan dan kenegaraan mungkin tidak ada
yang menandingi dan ditambah dengan penyampean yang nyeleh membuat Gus
Dur menjadi seorang tokoh yang di segani baik oleh lawan maupun kawa.
Walaupun ia dididik di kalangan
pesantren namun, Gus Dur tidak berniat untuk mendirikan Negara agama (sewaktu
ia Berkuasa). Bahkan ia lebih mengutamakan denokrasi. Dan Gus Dur
merupakan pengawas bagi jalanya demokrasi bangsa kita agar demokrasi kita
berjalan di relnya. Kritikan terhadap pemerintahan sebagai bukti bahwa ia masih
peduli dan menyayangi bangsa kita. Walaupun banyak hujatan deari tokoh-tokoh
bangsa karena cara penyampaian kritiknya terhadap pemerintah.
Gus Dur pun merupakan tokoh
budayawan bangsa yang menyayangi budaya bangsa. Hal ini bisa kita lihat dari
bagaimana ia mengambil sebuah kebijakan pada waktu ia masih berkuasa. Hamper
seluruh kebijakan yang ia ambil memperhatikan dan mempertimbangkan segi
budaya.jadi tidak bisa di ragukan lagi tentang jiwa Budaya yang melekat pada
diri Gus Dur.
Sebagai seorang
politisi besar yang selalu di perhitungkan dalam percaturan politik bangsa.
Baik pada masa Orde baru sampai sekarang. Namun jika kita lebih teliti Gus Dur
cenderung untuk melihatkan Netralitasnya, ia tidak berpihak sebagai wujud
netralitas. Hal ini ia lakukan untuk menjaga sportivitas dalam berpolitik. Walaupun
semasa ia menduduki jabatan politik tertinggi boleh di bilang kurang suksaes,
namun sportivitas gus dur terlihat.
Negarawan yang selalu berfikir untuk
masyarakat. Tentang bagaimana penyatuan wilayah Negara yang plural dan agar
dapat meredam konflik SARA. Pemikiran
beliau tentang kenegaran masih bisa kita rasakan sampai sekarang.
Walaupun
sebagai tokoh bangsa yang memiliki pengaruh yang cukup besar namun sifat rendah
hati. Dan mau menyuarakan kritikan-kritikan yang membangun bagi sebuah bangsa.
Sifat-sifat inilah yang patut untuk kita teladani sebagai generasi muda. Agar
nantinya kita sebagai generasi muda mampu untuk menyesejahterakan rakyat dan
mampu mengawal demokrasi agar berjalan sesuai dengan jalanya.
B.
Saran
Sebagai generasi muda penerus
bangsa, kita harus meneladani filsafat politik Gus Dur dalam bernegara. Kita
harus saling menghormati perbedaan yang ada diantara kita untuk menyongsong
masa depan bangsa yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Sadono,
Bambang. Jalan tengah mengawal Reformasi,DAMTRI, jakarta,2006
Pengurus NU jawa Tengah. 2003. Menahan Syahwat kiai Berpolitik. Semarang:
Gramedia.
Soekanto, soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo persada.
No comments:
Post a Comment